Kemilau Emas Itu Ternyata Sebuah Tanda Istidraj

Rudi duduk termenung di sudut ruang tamu apartemennya di Jakarta, ditemani sunyi yang menyelimuti. Ia adalah seorang suami dan ayah yang baru saja melewati cobaan berat—beberapa bulan lalu, anak bungsunya meninggal karena keracunan paracetamol (termorex). Peristiwa itu masih menyisakan luka yang mendalam di hatinya. 

Ia teringat saat-saat terakhir anaknya, di mana sebuah kesalahan kecil—obat yang seharusnya menyembuhkan, malah merenggut nyawa. Paracetamol yang dikonsumsinya ternyata beracun. Rudi selalu merasa bersalah, meski semua orang di sekitarnya mengatakan itu bukan salahnya.

Di tengah kesedihannya, Rudi masih berusaha menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami. Istrinya, Rina, tinggal di Bandung bersama empat anaknya, tiga dari pernikahan sebelumnya. Meski jarak memisahkan, Rudi tak pernah alpa mengirim nafkah. Ia memastikan setiap kebutuhan anak-anak Rina tercukupi, termasuk mereka yang bukan darah dagingnya. 

Namun, seiring berjalannya waktu, Rudi merasakan ada yang berubah. Komunikasi dengan Rina semakin jarang. Telepon atau pesan hanya datang saat Rina membutuhkan uang. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada rasa peduli. Semuanya terasa seperti kewajiban yang dingin.

Suatu hari, Rudi akhirnya merasa perlu bicara. Ia menelepon Rina dan mencoba menasihatinya. "Kenapa kamu cuma telepon kalau butuh uang saja? Kita ini suami istri, kita harus saling mendukung, bukan cuma soal uang." Rudi berharap Rina bisa mengerti maksudnya. Namun, alih-alih menerima dengan baik, Rina marah besar. “Kamu nggak ikhlas ya kasih uang? 

Setelah perdebatan panas itu, mereka berhenti berkomunikasi selama seminggu. Rudi merasa kosong. Jiwanya semakin tertekan oleh rasa bersalah dan kesedihan yang berlapis-lapis. Di sisi lain, dia juga bingung dengan sikap Rina yang semakin tidak peduli. Meski begitu, Rudi masih mencoba bertahan, berharap ada perubahan.

إستدرج


Firasat Buruk

Sore itu, saat ia sedang bekerja menjadi digital marketing produk parfum pria yang awet, sebuah firasat buruk datang. Seolah ada sesuatu yang salah. "Apakah ini pertanda?" pikirnya. Dengan segera, ia mencoba menelepon Rina. Namun, tiga kali panggilan itu direject. Semakin cemas, Rudi mengirim pesan, “Kamu baik-baik saja?” Tapi, lagi-lagi tak ada balasan.

Rudi semakin resah. Akhirnya, ia mengirim voice note, memberikan Rina dua pilihan: "Kamu mau datang ke sini untuk menyelesaikan ini atau kita talak saja?" Beberapa menit kemudian, jawaban singkat yang mengejutkan masuk, “Aku pilih talak.”

Hati Rudi hancur. Ia sudah berusaha sekuat tenaga mempertahankan hubungan ini, bahkan setelah semua yang terjadi, setelah rasa sakit atas kehilangan anaknya, dan penghinaan dari istrinya. Tapi sekarang, Rina malah memilih jalan keluar yang menurutnya paling mudah: cerai.

Kedurhakaan Seorang Istri Terbukti

Tak lama setelah itu, mereka mengatur panggilan video untuk menyelesaikan urusan talak. Saat panggilan terhubung, Rudi melihat Rina sudah berada di luar rumahnya. “Kamu keluar rumah tanpa izin?” tanya Rudi dengan nada heran dan marah. 

Meskipun mereka tidak berbicara selama seminggu, Rina masihlah istrinya. Aturan Islam jelas: seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suaminya, apalagi saat masih ada janji dan komitmen yang mengikat mereka.

Rina sempat menyalahkan Rudi dengan membandingkan dirinya, "Kalau saya, kalau anak-anak sakit, saya langsung bawa ke dokter, mau ada duit atau enggak!" 

Kalimat itu menghantam hati Rudi seperti belati yang menusuk dalam. Ia tak pernah menyangka Rina akan membandingkan dirinya dengan cara yang begitu kejam. Luka atas kepergian anaknya yang masih belum sembuh kini diperparah oleh tuduhan dari istrinya sendiri.

Rina menanyakan Rudi "Mana katanya mau talak?" dengan megucap Basmallah Rudi menyatakan "Saya talak kamu karena tidak mau bertaqwa kedapa Allah Ta'ala dengan mentaati kepada suami".

Setelah proses talak selesai, Rina berteriak dengan penuh kebahagiaan, “Alhamdulillah! Doa-doaku diijabah Allah.” Rudi hanya bisa terdiam. Rina baru saja mendapatkan investor besar untuk tambang emas yang sedang ia usahakan. Dengan gembira, Rina berkata bahwa tambangnya akan segera berjalan dan ia akan mendapatkan emas yang banyak.

Namun, di balik senyum itu, Rudi merasakan ada yang tidak beres. Apakah benar ini berkah? Ataukah ini hanyalah istidraj—nikmat dunia yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang menjauh dari-Nya? 

Tanda Sebuah Istidraj

Rudi tahu, tidak semua kemudahan dan rezeki yang datang setelah seseorang meninggalkan ketaatan adalah pertanda kebaikan. Bisa jadi, Allah sedang membiarkan, memberikan dunia kepada mereka yang tak lagi taat, namun menunda balasan di akhirat kelak.

Di dalam hatinya, Rudi merasa berat. Rina mungkin merasa doanya terkabul, tapi Rudi hanya bisa berdoa dalam diam, berharap Allah memberi petunjuk, entah kepada dirinya atau kepada Rina. Dunia terus berputar, tapi tak semua yang berkilau itu emas. 

Mungkin, hanya waktu yang akan mengungkap apakah pilihan yang diambil Rina benar-benar membawa kebahagiaan, atau justru mengarah pada kehancuran yang tak terlihat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

9 Ciri Tipe Orang yang Suka Ber-Kamuflase

Hukum Istri Meninggalkan Rumah Saat ada Masalah dengan Suami

Bakso di Ciracas yang Paling Enak dan Populer